PENALARAN MATEMATIKA
Istilah penalaran sebagai terjemahan dari “reasoning”
yang didefinisikan sebagai proses pencapaian kesimpulan logis
berdasarkan fakta dan sumber yang relevan (Shurter dan Pierce dalam
Soemarmo, 1987: 31), pentransformasian yang diberikan dalam urutan
tertentu untuk menjangkau kesimpulan ( Galloti dalam Matlin, 1994).
Secara garis besar penalaran dibagi ke dalam dua jenis, yaitu:
1. Penalaran Induktif
Penalaran
induktif adalah suatu proses berpikir yang berupa penarikan kesimpulan
umum (berlaku untuk semua/banyak) atas dasar pengetahuan tentang hal
yang khusus (fakta). Artinya dari fakta-fakta diturunkan suatu
kesimpulan. Penalaran induktif melibatkan tentang keteraturan, misalnya
kesamaan dari contoh-contoh yang berbeda atau kesamaan pola gambar.
Penalaran induktif juga dapat dilakukan dalam kegiatan nyata, contohnya
melalui suatu permainan atau melakukan sesuatu secara terbatas dengan
mencoba-coba, contohnya pada permainan menara hanoi. Oleh karena itu,
penalaran induktif merupakan proses penarikan kesimpulan dari
kasus-kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang bersifat umum.
Kesimpulan
umum dari suatu penalaran induktif tidak merupakan bukti. Hal tersebut
dapat dipahami karena aturan umum yang diperoleh ditarik dari
pemeriksaan beberapa contoh kusus yang benar, tetapi belum tentu berlaku
untuk semua kasus. Kesimpulan tersebut boleh jadi valid (sah) pada contoh yang diperiksa, tetapi bisa jadi tidak dapat diterapkan pada keseluruhan contoh. Dengan demikian dalam
penalaran induktif dapat dihasilkan suatu kesimpulan yang benar
berkenaan dengan contoh khusus yang dipelajari, tetapi kesimpulan
tersebut tidak terjamin untuk generalisasi.
2. Penalaran Deduktif
Deduktif
atau deduksi adalah salah satu bentuk pemikiran yang biasanya digunakan
untuk menentukan pernyataan-pernyataan yang terungkap atau bisa juga
untuk menyatakan ide yang sama dengan bentuk sebaliknya. Ini adalah
bentuk pemikiran yang kesimpulannya muncul secara signifikan setelah ada
pernyataan-pernyataan. Pernyataan dalam pemikiran tersebut disebut
premis-premis. Jika hubungan antara premis-premis menghasilkan
kesimpulan (konklusi) maka hubungan tersebut dikatakan valid/sah.
Validitas suatu kesimpulan timbul dari bentuk argumen dan bukan dari
kebenaran premis-premis. Argumen deduksi disebut valid/sah, bila
premis-premisnya benar maka kesimpulannya benar dan bila premisnya salah
maka kesimpulannya salah.
Bukti
deduktif dapat menentukan apakah suatu konjektur yang ditarik melalui
intuisi atau induktif secara logis konsisten dan apakah itu hanya untuk
kasus-kasus tertentu atau kasus yang lebih umum. Meskipun demikian,
penalaran deduktif memiliki keterbatasan.
Penalaran
deduktif menjamin kesimpulan yang benar jika premis dari argumennya
benar, dan argumennya valid (logis). Namun demikian, boleh jadi benar
hanya dalam situasi tertentu.
Salah satu tujuan pembelajaran adalah untuk membantu siswa agar mempunyai keterampilan penalaran induktif dan dan deduktif baik
secara individu maupun kelompok dalam bidang matematika. Seorang
matematikawan atau siswa yang mengerjakan matematika sering membuat
suatu konjektur dengan menggeneralisasikan suatu pola dari pengamatan
terhadap kasus-kasus khusus (penalaran induktif), selanjutnya konjektur
ini diuji dengan membangun sebuah pembuktian yang logis atau pembuktian
dengan counter example (penalaran deduktif). Dengan
aktivitas ini diharapkan para siswa dapat memahami peran kedua bentuk
penalaran tersebut baik dalam matematika maupun dalam situasi-situasi di
luar matematika.
Menurut NCTM, standar penalaran yang harus dikuasai siswa sekolah antara lain:
1. Mengingat dan menggunakan penalaran deduktif dan induktif.
2.
Memahami dan menggunakan proses penalaran dengan perhatian tertentu
untuk penalaran spasial (tilikan ruang) dan penalaran dengan proporsi
dan grafik.
3. Membuat dan mengevaluasi konjektur dan argumen matematika
4. Memvalidasi berpikir mereka sendiri.
5. Menyadari kegunaan dan kekuatan penalaran sebagai bagian dari matematika.
Sejalan
dengan hal tersebut Soemarmo (1987) menyatakan, hendaknya guru berusaha
agar siswa tidak hanya terampil mengaplikasikan konsep atau
rumus saja, tetapi lebih didorong kearah pencapaian tingkat penalaran
yang lebih tinggi. Contoh soal yang beragam, tidak rutin, dan contoh
soal aplikasi konsep atau rumus dalam konsep matematika lain atau bidang
studi lain akan membantu siswa memahami inter relasi konsep-konsep.
Menurut
Glade dan Citron (Dahlan, 2004: 43), terdapat enam keterampilan
bernalar yang dapat dikembangkan dalam proses mental, yaitu:
a. Thing-making, yaitu pengamatan dan proses identifikasi sesuatu melalui nama sebuah kata (word names), simbol, atau bayangan mental (mental images).
Contohnya kata “bank”. Kata “bank” menurut struktur dan indentifikasi
kita tempat menyimpan uang, tetapi kita dapat mengidentifikasi bahwa
kata itu dapat berupa “bank” suatu pinggir sungai atau dapat juga
sebagai skull-and-crossbone yang jadi simbol bahaya. Keterampilan ini didasarkan atas pengembangan perbendaharaan kata (vocabulary),
penyimpulan pada kontek, dan semua komunikasi interaksi yang terjadi
karena hal tersebut tergantung pada referensi kata-kata, pengetahuan,
dan asosiasi seseorang.
b. Qualification,
yaitu penganalisisan karakteristik sesuatu. Contohnya penganalisisan
yang menetapkan bahwa sebuah pulpen panjangnya 6 inchi, berbentuk
silinder, halus atau licin, mudah digunakan dan menghasilkan warna tinta
yang biru. Orang Amerika mencirikannya sebagai demokratis, besar, dan
kuat. Dari hal tersebut, akan lebih baik apabila kita memperhatikan
karakteristiknya, lebih baik kita memahaminya, mencocokannya untuk suatu
keinginan, membandingkan dan mengkontraskannya dengan yang lain dan
mengubah atau mengembangkannya secara kreatif.
c. Classification,
yaitu pengaturan sesuatu ke dalam kelompok berdasarkan karakteristik
yang mirip. Contohnya pengklasifikasian kata alat tulis “pen” dengan
pensil, mesin tik, dan program pengolah kata (MS.Word, WS, dan
lain-lain) sebagai alat tulis; pengelompokan Amerika dengan Inggris dan
Prancis sebagai negara Barat; pengelompokan pernyataan khusus dibawah
suatu pemikiran dan ide umum. Lebih baik kita mengklasifikasi, lebih
baik kita mengatur sebarang kumpulan data dan fakta dari konsep yang
umum kemudian menalarnya dengan logika silogistik.
d. Structure Analysis, yaitu menganalisis dan menciptakan suatu keterhubungan (relationship).
Contohnya menganalisis kursi berdasarkan struktur wujudnya yang
tersusun dan didefinisikan sebagai sesuatu yang mempunyai sandaran, dua
buah pegangan, dan empat kaki; suatu sel kering yang berongga, elektroda
unsur seng, dan elektroda tembaga; sesuatu yang mudah untuk diciptakan
dengan pengurutan paragraf masing-masing (individual). Kelengkapan
penganalisaan dan penciptaan bagian-bagian yang berhubungan atas
bagian-bagian yang ditopang oleh sesuatu komposisi dan struktur secara
menyeluruh, memunculkan hal-hal yang pokok, dan membangun kemampuan
penalaran spatial.
e. Operation Analysis, yairu pengurutan (sequencing)
sesuatu, hal, atau pikiran-pikiran ke dalam urutan secara logis.
Contohnya pengurutan orang dari yang tinggi ke yang pendek, pengurutan
kriteria dari sangat penting ke yang kurang
penting, perencanaan langkah-langkah untuk suatu percobaan dan
menyelesaikan masalah. Lebih logis kita mengurutkan sesuatu, lebih baik
kita memahami sederetan dari semua tipe, mengikuti langkah-langkah
sebarang proses, mengidentifikasi hubungan sebab akibat, dan membuat
rencana serta prediksinya.
f. Seeing Analogies,
yaitu pengenalan hubungan-hubungan yang sama. Contohnya pengenalan
bahwa seorang penulis menggunakan sebuah “pen” sebagai seorang pelukis
yang menggunakan kuas cat. Keterampilan ini merupakan aplkasi dari
informasi yang dihasilkan oleh semua keterampilan berfikir yang lain.
Keterampilan ini merupakan dasar untuk pemberian wawasan dalam pemecahan
masalah ketika kita mengingat masalah yang sama, sebagai metaphor yang
lengkap ketika kita ingat akan gambaran sejenis dan untuk memahami
konsep ratio dan perbandingkan pada matematika
Dalam pembelajaran penalaran, Glade dan Citron juga memberikan 4 tahapan program pembelajaran penalaran:
Tahap1.
Tahap ini bertujuan untuk membangun kemampuan metakognisi dengan
pengembangan pengetahuan anak dari enam dasar keterampilan berpikir dan
bagaimana mereka menggunakan keterampilan tersebut untuk berkomunikasi,
belajar, menalar dan menyelesaikan masalah. Fokus pada tahap ini adalah
membangun kesadaran siswa sehingga proses berpikir siswa secara
sistematis turut serta menggunakan enam keterampilan berpikir dan juga
mereka dapat belajar untuk menjadi pemikir yang baik.
Tahap
2. Tahap ini bertujuan untuk meningkatkan level dari kecakapan kognisis
siswa melalui pelatihan dalam setiap enam dasar kemampuan berpikir
sebagai alat untuk berkomunikasi, belajar, bernalar, dan memecahkan
masalah. Fokusnya adalah pengembangan kemampuan siswa sehingga melakukan
setiap enam kemampuan berpikir ketika dia menyelesaikan suatu masalah.
Tahap
3. Tahap ini bertujuan mengembangkan siswa untuk mentransfer dan
menggunakan ketrampilan berpikir anak untuk belajar, memahami,
menganalisis, berkomunikasi dan memecahkan masalah secara sadar. Karena
kesadaran penggunaan dan pentranfseran ketrampilan berpikir untuk
mempelajari teori tidak muncul secara intuitif atau otomatis, maka perlu
dikembangkan aspek materi untuk strategi penalarannya.
Tahap
4. Tahap ini sebagai refleksi sejauh mana kemampuan berpikir anak dapat
diaplikasikan dalam menganalisis, memahami, mengkomunikasikan pemecahan
masalah baik yang berkaitan dengan konsep matematika masalah dalam
kehidupan sehari-hari
Beberapa
indikator mengenai penalaran matematik atau penalaran dalam matematika
dalam istilah yang dinyatakan Sumarmo (2004) adalah sebagai berikut:
- Menarik kesimpulan logik
- Memberikan penjelasan dengan mengunakan model, fakta, sifat, dan hubungan
- Memperkirakan jawaban dan proses solusi
- Menggunakan pola dan hubungan untuk menganalisis situasi matematik, menarik analogi dan generalisasi.
- Menyusun dan menguji konjektur
- Memberikan lawan contoh (counter examples)
- Menyusun argumen yang valid
Komentar
Posting Komentar